Seperti hari-hari berskala pendek yang telah dilewatinya tiap hari
dimusim dinginnya tahun ini, Takigawa Nagao hampir selalu melihat rekan
sekantornya itu tersenyum riang sambil menceritakan hal-hal mengenai
orang yang disukainya. Nagao tahu benar bahwa gadis itu –Minagawa Saki-
amat menyukai tetangga baru yang tinggal disebelah apartemennya bulan
lalu. Dan dari hasil yang diceritakan, Nagao tahu bahwa nama pria itu
Kazomi. Saki menyukainya, ia yakin itu, walaupun Saki tak pernah
memberitahukannya. Hanya dengan melihat caranya bercerita, Nagao
langsung menyadari bahwa gadis itu menaruh hati pada pria itu. Yah, dia
sendiri tidak tahu dan tidak mau tahu seperti apa tampang pria yang
dibicarakan itu.
“ kau tahu, kemarin saat aku baru hendak masuk ke
pintu apartemenku, aku melihatnya baru menaiki tangga lalu melewatiku
kemudian berdiri di depan pintu apartemennya dan kemudian masuk!
Kazomi-san keren sekali! Hanya melewati sejenak saja ia sudah menebarkan
wangi semerbak, wangi parfum Chanel!” tutur Saki dengan
semangat menggebu-gebu dan dengan mata yang seperti memancarkan bara
api. Kemudian ia menarik nafas lalu menyeruput parfait miliknya dengan gahar. Dasar.
Sementara
Saki masih tetap bercerita, Nagao membiarkan dirinya mendengarkan
dengan khusyuk semua ocehan gadis itu. Tidak apa-apa, ia menyukai cara
gadis itu bercerita, unik dan tak pernah membuatnya jenuh.
Saat itu, mereka tengah berada disebuah cafè tidak jauh dari kantor tempat mereka berkerja, sama-sama menikmati sepiring spagetti sebagai menu makan siang itu. Kebetulan siang itu cafè tidak terlalu ramai sehingga mereka pun dapat mengobrol tanpa harus tumpang tindih dengan obrolan pengunjung yang lain.
Nagao kembali melahap spagetti
dengan perlahan sambil sesekali mengangguk setiap kali Saki bertanya
padanya. Ia menatap gadis dihadapannya. Saki yang berambut coklat
lumayan panjang dengan bola mata berwarna abu-abu-hitam menyala, manis
sekali, ditambah dengan hiasan rambut berbentuk pita merah kecil yang
menjepit sejumput rambut di sisi telinga kirinya. Mata Saki tidak
terlalu sipit seperti mata orang Jepang pada umumnya, membuat setiap
kali gadis itu terbelalak ataupun melebarkan mata, terlihat seperti
boneka Rusia.
“ hei Nagao-kun, bagaimana denganmu? Aku tak pernah
sekalipun mendengar hubunganmu dengan seorang wanita” tiba-tiba Saki
bertanya sambil mengacungkan garpu di tangannya kedepan temannya.
Sementara Nagao masih berpikir karena ditanyai soal itu Saki melanjutkan
“ jangan-jangan... kau homo!?”
“ enak saja!” sergahnya dengan nada tinggi. “ aku memang belum tertarik untuk hal seperti itu”
“ benarkah?” lalu menempelkan sendoknya kebibir “ sayang sekali, padahal kau tampan dan menurutku lumayan cool, kadang-kadang sih... mungkin karena kau pendiam makanya tidak mungkin ada juga wanita yang mau bersamamu”
“ berisik” Nagao membalas acuh tak acuh sambil memasang tampang masa bodoh dan memakan suapan terakhir dari spagettinya.
Saki tertawa “ oh ayolah, aku hanya bercanda. Peace” dan membentuk huruf v dengan jari tangan kanannya.
Satu
hal yang selalu membuat Nagao kesal dengan Saki, gadis itu suka sekali
bercanda sedangkan Nagao adalah orang yang lumayan pendiam. Hampir tiap
hari –memang setiap hari- pria itu dibuat menelan emosi berlebih dan
hampir membuatnya stress. Kalau sudah seperti itu, Nagao akan membalas
dengan cuek atau hanya tertawa hambar. Sebenarnya Nagao senang saja
kalau gadis itu bercanda kalau saja hal yang diledeknya bukan mengenai
dirinya sendiri. Ya, bukan dirinya.
“ kau selalu saja begitu, apa kau bisa tidak mengatakanku homo?” tanyanya dengan nada rendah.
“
baiklah, aku tak akan bilang begitu lagi. Oke?... nah, ayo senyum” Saki
saling menempelkan kedua telapak tangannya “ Nagao-kun, senyum”
Dengan
agak terpaksa, akhirnya Nagao tersenyum. Kelihatan sekali dipaksakan.
Tapi tak apa, Saki kelihatannya puas dan ia pun balas tersenyum lebar,
memamerkan senyumnya yang memang amat indah. Khusus hanya untuk pria di
hadapannya dan entah kenapa Nagao melihat senyum itu dengan aneh.
Perasaannya tiba-tiba bahagia dan jantungnya terasa menyentak. Ia
menyukai senyum itu, tapi lebih dari sebelumnya, perasaan itu begitu
spesial. Aneh.
***
Bentangan langit yang luas terhalang
gedung-gedung pencakar langit kota Tokyo yang saling memancarkan cahaya
lampu, seakan berlomba-lomba menerangi langit yang telah berwarna
biru-hitam. Nagao melirik dinding gedung kantornya yang terbuat dari
kaca, membuatnya dapat dengan jelas memerhatikan suasana malam kota itu.
Jarum pendek pada jam di meja kerjanya telah menunjukkan pukul delapan
malam dan ia masih bekerja dengan keras untuk membuatnya dapat melupakan
pembicaraannya dengan Saki siang tadi. Entah kenapa ada sesuatu yang
salah, ia merasa tenaganya berubah jadi buih dan lenyap ketika gadis itu
bercerita padanya. Masih seperti biasanya.
Mereka tengah berada di cafè, seperti
biasanya menikmati makan siang dan seperti biasanya Saki bercerita
tentang pria bernama Kazomi itu namun kali ini terlihat lebih
bersemangat.
“ Nagao! Nagao! “ seru Saki dengan suara lantang namun tertahan karena sadar tengah berada di tempat umum.
Mendengar itu alis Nagao terangkat, ia memiringkan kepala sedikit “hm?”
Saki
mencondongkan badannya kedepan “ kau tahu? Kazomi semalam menegurku
ketika ia melihatku tengah sibuk mencari kunci dari dalam tas tanganku
di depan pintu! Dia benar-benar tampan seperti yang aku lihat biasanya,
ia tersenyum dan senyumnya itu....” terlihat Saki memegangi dadanya
dengan mata terpejam “ indah sekali..” lanjutnya.
“ oh”
“
lalu dia bilang seperti ini ‘matamu lucu sekali saat mencari kunci tadi,
jadi bulat seperti mata boneka’, ya tuhan... dia memujiku!”
Nagao tidak berkomentar.
“
jadi kubalas saja ‘temanku juga ada yang bilang seperti itu’ kemudian
dia tertawa riang, oh, pasti semalam adalah hari terbaikku” lanjut Saki
tanpa menunggu tanggapan dari Nagao. Dia tahu benar sifat Nagao yang
cuek dan pendiam itu memang jarang menanggapi apa yang dibicarakannya,
tapi itu tak masalah. Saki memang sedang ingin bercerita dan hanya Nagao
yang bisa membuatnya bercerita tanpa rasa canggung sama sekali.
Nagao
tetap diam. Lalu akhirnya untuk hari itu Nagao mengatakan sesuatu,
hanya sekali itu saja. Ia tersenyum kecil “ aku turut berbahagia
untukmu“
Hari itu sepanjang Saki bercerita, Nagao tidak banyak
berkomentar. Ia kesal. Bagaimana bisa gadis itu bahagia karena dirayu
oleh tetangganya itu? Hanya memuji seperti itu saja tentu ia juga bisa.
Ah, Nagao menggaruk kepalanya, mengacak-acak rambut hitamnya. Kenapa dia
jadi sekesal itu padahal sebelumnya ia merasa biasa saja tiap kali
gadis itu bercerita seperti itu.
Kenapa sekarang ia sangat tidak ingin Saki akrab dengan Kazomi?
***
“
kau mau pergi sekarang juga?” tanya Nagao kaget saat mendengar dari
mulut Saki bahwa ia harus pulang lebih cepat setengah jam dari waktu
pulangnya.
Saki mengagguk.
“ kenapa?” Nagao bertanya untuk kedua kalinya.
Dan
kali ini dibalas senyum lebar Saki, “ Kazomi-san mengajakku makan malam
bersama, katanya untuk salam perkenalan sebagai tetangga baru”
Alasan macam apa itu?! Basi. Gara-gara itu emosi Nagao tiba-tiba melambung. Ia tidak berkomentar.
“
karena itu,... tolong lanjutkan pekerjaanku ya Nagao? Harus selesai
hari ini, oh, sebagai balasannya nanti aku akan mengabulkan apapun yang
kau mau. Apapun!”
Apapun? Saat ini yang paling aku mau kau tidak
pergi menemuinya. Tapi itu tidak mungkin, Nagao tidak punya hak untuk
melarang Saki. Kenyataan itu membuat Nagao kesal. Akhirnya dengan berat
hati Nagao mengangguk dan disambut bahagia oleh Saki yang segera
beranjak pergi.
Seberapa tampankah pria yang telah menarik hati
Saki itu hingga tega memperlakukan temannya seperti itu. Bagaimana bisa
pula gadis itu tidak menyadari bahwa ia kesal. Tapi, yah... Nagao
mengalah, hanya itu yang bisa ia lakukan untuknya. Selama gadis itu
bahagia ia juga akan bahagia walaupun ia merasa dadanya sakit dan
menghirup nafas menjadi hal yang amat sulit.
***
Tokyo saat
itu bersuhu dingin. Memaksa Nagao untuk menaikkan syalnya hingga
menutupi hidung dan berjalan cepat menembus terpaan angin yang
membuatnya hampir beku. Hari ini pun Nagao harus pergi makan siang
sendirian, sementara Saki berdua dengan pria itu. Siapa lagi kalau bukan
Kazomi. Kazomi, Kazomi, Kazomi, sepanjang hari gadis itu selalu
membicarakan dia hingga membuat telinga Nagao panas. Tiap kali gadis itu
bercerita dengan cerianya, ia merasa bahagia tapi juga merasa sakit.
Ditambah lagi Saki yang mengabarkan bahwa sepanjang Valentine Days
nanti mereka akan pergi ke Shibuya bersama-sama , jalan-jalan berduaan.
Namun apa yang bisa dilakukannya hanya membantu Saki dari kejauhan jika
diperlukan, ia tidak bisa memaksakan perasaan gadis itu. Nagao harus
tetap tersenyum saat gadis itu mulai menyukai orang lain. Selama Saki
dapat tetap tersenyum, tertawa dan bercerita panjang lebar, buatnya tak
masalah. Ia suka Saki yang seperti itu dibandingkan Saki yang putus
cinta.
Tiba-tiba ia jadi teringat kembali tentang pembicaraannya
dengan Saki saat di kantor kemarin, gadis itu bertanya apakah ia belum
juga mendapatkan pasangan menjelang hari kasih sayang itu? Mengingat
juga umur Nagao yang sudah hampir akhir dua puluh tahunan namun belum
juga punya pasangan. Saat itu ia bingung hendak menjawab apa, rasanya
jawaban sudah ada diujung tenggorokan namun sulit sekali untuk
dikeluarkan. Pada akhirnya ia hanya menjawab dengan seadanya..
‘ dia... gadis yang kusukai, aku menghilangkannya. Padahal ia selalu ada di hadapanku’
***
Nagao
menghela nafas panjang dengan berat. Setiap kali ia membuang nafas,
asap putih segera mengepul di depan wajahnya. Sesekali ia menggosokkan
kedua tangannya yang bersarung tangan dengan berlebihan. Salju telah
menumpuk dikota Tokyo mengakibatkan jalan-jalan bertebar benda putih
halus tersebut. Sejauh mata memandang, jalanan dipenuhi
pasangan-pasangan muda berbalutkan setelan musim dingin dengan aneka
warna, saling bermesraan, berpegangan tangan dengan wajah bahagia.
Suasana Shibuya saat itu dipenuhi ornamen penuh cinta dengan warna muda
dari pink-hijau-biru-merah yang amat menarik.
Hari itu tanggal 14 Februari.
Berbeda
dari yang lainnya, Nagao berjalan menyusuri jajaran pertokoan di
Shibuya sendirian. Di tangannya ada sebuah bingkisan berisi sekotak
cokelat yang baru dibelinya dari sebuah toko. Entah apa yang hendak
dilakukannya sendirian di sana, mungkin merenungi nasib yang tidak
memiliki pasangan sambil memakan cokelat yang dibelinya. Tiba-tiba bola
mata hitamnya menangkap sesosok orang yang ia kenal di kejauhan, sedang
berjalan membelakanginya sendirian. Detik itu juga tanpa pikir panjang
Nagao mengejar orang itu. Dalam radius tiga meter, Nagao memanggil
sambil melambaikan tangan. Orang itu menoleh.
“ Nagao-kun?” ucapnya dengan alis terangkat.
“ Saki? Kenapa kau sendirian?” sambil menunjuk kearah Saki yang masih menatapnya heran.
“ oh itu...”
“ mana pria itu?” potong Nagao dengan kepala yang menoleh ke kiri dan ke kanan.
Saki
mengembungkan pipinya sambil menyilangkan tangan di depan dada. Oh, ada
apa ini, kenapa sepertinya suasana hati Saki tampak buruk dihari yang
dinantinya itu? “ huh.. kami baru turun di stasiun, tiba-tiba ia bertemu
dengan mantan pacarnya dan langsung meninggalkanku sendirian sedangkan
ia pergi dengan mantannya itu. Menyebalkan!” gerutu Saki.
Nagao
tidak mempercayai telinganya sendiri saat mendengar hal itu. Tak bisa di
pungkiri, ia merasa senang bahwa kencan gadis itu tidak jadi dan
kemungkinan bahwa Kazomi tidak menaruh hati pada Saki. Semangat Nagao
yang sempat hilang kini kembali dan kalau saja tidak sedang di tempat
umum mungkin ia akan melakukan tindakan gila seperti melompat kegirangan
ataupun tertawa terbahak-bahak.
“ bisa-bisanya dia meninggalkan
seorang gadis yang sudah punya kencan dengannya duluan?! Dasar
menyebalkan!” pekik Saki. “ kalau aku bertemu lagi dengannya akan
kupukul kepalanya, kumaki, ku.... hei, kenapa kau senyum-senyum
sendiri?”
Nagao ingin sekali tersenyum lebar namun itu hanya
terlihat seperti ia senang kalau Saki patah hati, karena itu ia mengulum
senyum. Namun gagal, ia tetap tersenyum lebar. “ kalau begitu,
bagaimana kalau jalan berdua denganku saja... kita kencan”
“ kencan?” tanya Saki dan dibalas anggukan oleh pria di hadapannya. “ kau serius?”
“
tentu saja... kita kelilingi kota Tokyo sepuasnya hingga malam!” tawar
Nagao dan tanpa menunggu jawaban ia segera menggandeng tangan Saki dan
menariknya untuk mulai melanjutkan langkah kaki.
Aneh, saat tangan
pria itu menyentuh tangannya entah kenapa Saki merasa gugup, itu kali
pertama Nagao menggandengnya. Ia dapat merasakan jantungnya yang memacu
cepat, wajahnya yang memanas dan ia yakin pipinya menampilkan semburat
merah. Padahal ia tak pernah merasa secanggung ini bila bersama Nagao,
apa ia mulai memandang pria disampingnya dengan pandangan lain? Ia
senang pria itu menyentuh tangannya, tapi kenapa? Perasaan itu tak
beralasan. Saki berusaha bersikap biasa saja.
“ hei, sepertinya
aku mulai menyukaimu” tiba-tiba Saki berkata ringan, jelas sekali ia
tengah bercanda karena setelahnya ia tertawa. Dan saat itu juga Nagao
menghentikan langkahnya diikuti Saki.
Selama beberapa detik mereka
saling diam, Saki keheranan dan akhirnya Nagao menjawab rasa heran
gadis itu. Nagao membalikkan tubuhnya, berdiri tepat satu langkah di
depan gadis tersebut. Didapatinya kedua mata mereka saling bertemu dan
ia masih menggenggam tangan mungil gadis itu.
“ aku hanya bercanda, Nagao-kun... baiklah, aku tak akan bercanda lagi”
“ oh ya, waktu itu kau masih berhutang janji padaku”
“ Permintaan waktu itu? Oh iya, lalu, kau mau minta apa Nagao-kun?” tanya Saki.
Nagao
mengangkat kepala, dengan tampang pura-pura berpikir keras ia menatap
langit “ aku mau kau mendengarkanku dengan serius karena aku tak akan
mengulanginya untuk kedua kali” lalu menurunkan kepala dan menatap Saki.
“ apa itu?” Saki penasaran, tanpa sadar ia memiringkan kepala.
“ aku menyukaimu..”
Apa....?
oh tidak, benarkah ini ia tidak bisa memercayai telinganya sendiri?
Saki merasa gerakan orang-orang disekitarnya berhenti. Ia tak bisa
mendengar apapun lagi kecuali gemaan ucapan Nagao barusan. Jantungnya,
oh tidak, jantungnya menyentak-nyentak dan menimbulkan suara detak yang
cukup kuat sampai-sampai ia takut Nagao bisa mendengarnya. Beberapa
detik ia menahan nafas dan tidak dapat menggerakkan tubuhnya sesuai
perintah yang diberikan otaknya. Ia merasa lumpuh dan hanya terpaku pada
mata Nagao yang masih menatapnya lurus-lurus.
“ kau bercanda?”
Nagao tak menjawab.
“ kau.. menyukaiku... benarkah?” Saki berusaha berkata biasa saja namun gagal, suaranya terdengar bergetar.
“ kau sudah mendengarnya sendiri tadi... aku tak akan mengulanginya”
Memalukan. Saki segera menundukkan kepala, menatap ujung sepatu boots selututnya.
Ini benar-benar terjadi, Nagao menyukainya! Tuhan, apa yang harus
dijawabnya sekarang? Ia senang, senang sekali melebihi saat ia tahu
Kazomi mengajaknya kencan saat itu. Kenapa baru disadarinya, ia tak
perlu jauh-jauh mencari pasangannya karena orang itu sudah ada di
sampingnya, selalu. Orang yang bisa membuatnya utuh, sederhana,
sempurna, dan bahagia. Orang itu dia.. Takigawa Nagao.
“
sepertinya, aku salah telah menyukai Kazomi...” ucap Saki pelan lalu ia
memberanikan diri untuk mengangkat kepala dan membalas tatapan pria itu.
“ karena seharusnya aku menyukaimu” dan ia tersenyum lembut membuat
Nagao yang sejak tadi menahan malu akhirnya lumer.
“ kau kenapa?” tanya Saki heran ketika melihat Nagao membungkukkan tubuh jangkungnya seperti kelelahan.
“ akhirnya aku bisa menyampaikannya...” ia menghela nafas lalu menegakkan tubuhnya kembali.
Saki
masih gugup, ia tak berani menatap mata Nagao lagi. Salju tetap
bergulir seperti biasa, namun suhu dingin tak dapat menembus dan
dirasakannya. Ini mungkin musim dingin terhangat yang pernah dirasakan
Saki, dan yang terindah. Mereka masih saling terdiam dan sibuk dengan
pikiran masing-masing, tangan mereka pun masih berpegangan. Saki menatap
proses butiran salju yang turun secara perlahan dan melayang-layang
akibat gesekan dengan udara.
“ Happy Valentine Days, aku mencintaimu... “
Saki
terkejut, ia tak tahu harus membalas apa dan ia memilih diam sambil
membulatkan tekat untuk menatap pria itu. Wajahnya kembali panas,
nafasnya terasa susah dan jantungnya berpacu secepat laju kereta exspress lalu Nagao menyetarakan wajahnya dengan wajah Saki untuk menciumnya.
End
' Please do not plagiat, oke :D '
No comments:
Post a Comment